Who Tjokroaminoto....





Siapa tak mengenal Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto dan Soekarno? Keduanya adalah founding father of nationalism. Tjokroaminoto yang lahir di desa Bakur, Tegalsari Ponorogo 16 Agustus 1882, adalah tokoh Sarekat Islam (SI) yang semula bernama Sarekat Dagang slam (SDI) dan didirikan oleh Haji Samanhudi pada akhir 1911. Tjokroaminoto inilah yang melahirkan gagasan nasional-isme modern. Anak wedana Kleco Madiun Tjokroamiseno ini sejak muda sudah aktif dalam organisasi perjuangan. Tidak aneh bila dia juga menjadi tempat berguru anak-anak muda yang ingin aktif dalam perjuangan, seperti Soekarno, Abikusno, Semaun, Alimin, Musso, HA Agus Salim, Kartosuwirjo, Herman Kartowisastro, KH Mas Mansyur dan lain-lain.


Perlu dicatat bahwa beberapa nama dari sekitar 20 nama yang berguru kepadanya itu, Soekarno menjadi tokoh PNI (Partai Nasional Indonesia) Abikusno Tjokrosujoso men-jadi tokoh PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), sementara Semaun, Alimin dan Musso menjadi tokoh komunis memimpin PKI (Partai Komunis Indonesia), KH Mas Mansyur aktif di Muhammadiyah dan bersama dokter Sukiman yang juga berguru pada HOS Tjokroaminoto mendirikan Partai Islam Indonesia yang berasaskan kebangsaan. Sementara itu Kartosuwirjo kita kenal sebagai tokoh pimpinan PSII di masa penjajahan dan memimpin pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) di masa kemerdekaan, anggota Pengurus Besar Masjumi dan penggagas sekaligus pendiri Negara Islam Indonesia (NII) pada 1 Agustus 1949.


HOS Tjokroaminoto memang sudah mengakui adanya pluralisme dan kemajemukan dalam diri bangsa Indonesia, karena itu sejak semula menjadi guru dia tidak bersikap eksklusif. Karena itulah, murid-muridnya di kemudian hari banyak yang menjadi tokoh pergerakan nasional, baik yang beraliran Islam, nasionalis, sosialis bahkan komunis.


Abikusno sebenarnya masih saudara (adik) Tjokro-aminoto dan dia termasuk yang ikut menandatangani Piagam Djakarta pada 22 Juni 1945. HOS Tjokroaminoto inilah yang memelopori menggulirkan konsep “Islam dan Sosialisme”. Dalam Kongres Nasional Central Sarekat Islam (CSI) di Bandung 17-24 Juni 1916, Tjokroaminoto dengan tegas menuangkan ide-idenya dalam empat pokok. Pertama, Islam adalah agama yang mengajarkan ide demokrasi; kedua Islam merupakan dasar pokok bagi pendidikan moral dan intelektual, ketiga pemerintah Hindia-Belanda tidak boleh ikut campur dalam bidang agama dan tidak membuat diskriminasi atas agama-agama yang ada di Indonesia dan keempat, rakyat harus diberi kesempatan berpartisipasi dalam politik. Keempat pokok-pokok ajaran HOS Tjokroaminoto itulah yang sangat mempengaruhi salah seorang muridnya, Soekarno, sehingga mengatakan: “HOS Tjokroaminoto itulah yang membentuk seluruh kehidupan saya”. Ketika sudah menjabat sebagai Presiden RI, Soekarno masih mengatakan: “Andaikata Tjokroaminoto masih hidup, ten-tulah bukan saya yang menjadi presiden, melainkan dia. Saya ini tidak ada apa-apanya dibanding dia…” Begitu melekat hati dan pikiran Tjokro di hati dan pikiran Soekarno, sehingga Soekarno betul-betul menjadi murid kesayangannya. Bahkan murid yang satu ini akhirnya menjadi me-nantu Tjokro karena menikahi Utari, anak tertua gurunya itu.


Betapa dekatnya Soekarno dengan Tjokro, diakui dalam wawancaranya dengan Cindy Adam yang kemudian dibukukan dalam Soekarno Penyambung Lidah Rakyat, di mana Soekarno saat berguru dengan Tjokro duduk dekat kaki Tjokro, mendengarkan intonasi perkataannya dan gerak tangannya, dan itu kemudian dijadikan cermin oleh Soekarno dalam gaya pidatonya selama menjadi tokoh PNI hingga sebagai presiden. Kelahiran PNI itu sendiri, tak lepas dari pengaruh Tjokro. Tjokro bahkan mengatakan kalau SI berasaskan Islam, maka perlu ada partai yang berasaskan kebangsaan. Keduanya, Islam nasionalis dan nasionalis Islam, bisa bergandeng tangan sama-sama menentang penjajahan Belanda.


Dari sinilah inspirasi Soekarno mendirikan PNI, dan melahirkan ide marhaenisme di mana kemudian SI dan PNI sama-sama brsikap non-kooperatif dengan Belanda. Sayang Tjokro tak sempat melihat sepakterjang Soekarno dengan PNI-nya, karena dia wafat pada 17 Desember 1925 dan dua tahun kemudian (1927) PNI atau Perserikatan Nasional Indonesia baru berdiri yang dalam Kongres Nasionalnya yang pertama (1928) partai ini berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI).


Perjuangan Soekarno dengan PNI-nya tidak pernah lepas dari empat pokok ajaran HOS Tjokroaminoto. Teori-teori tentang demokrasi dan sosialisme yang dikembang-kan Soekarno dan bernuansa Islam, juga berasal dari ajaran Tjokro. Di sini kembali terlihat betapa luas wawasan politik Tjokro dalam melihat masa depan bangsa dan negaranya yang sedang terjajah agar bisa merdeka. Bahkan rakyat ketika itu menyebutnya, Tjokro itulah Ratu Adil yang telah turun ke bumi. Tetapi Tjokro menolak anggapan ini. Menurutnya, Ratu Adil bukanlah sosok manusia, melainkan suatu ide, yakni ide sosialisme. Ide yang berlandaskan demokrasi dan nasionalisme yang diilhami oleh ajaran Islam. Seperti disebut pada pokok petama ajarannya: Islam adalah agama yang mengajarkan demokrasi. Bahwa Tjokro menghendaki terjadinya proses intelektualisasi dan pen-didikan moral, itu sudah tertuang pada pokok kedua: Islam merupakan dasar pokok bagi pendidikan moral dan intelektual. Bahwa pemerintah tidak boleh mencampuri urusan keagamaan yang merupakan urusan pribadi dan tidak menjadikan agama sebagai dasar negara karena itu akan melahirkan diskriminasi dalam masyarakat Indonesia yang plural, telah tertuang pula pada pokok ketiga: Pemerintah Hindia-Belanda tidak perlu ikut campur dalam bidang agama dan tidak membangun diskriminasi. Dalam hal ini Tjokro menuangkan pokok pemikirannya yang ketiga bukan karena pemerintah Hindia-Belanda itu didominasi oleh orang-orang yang beragama nonIslam, tetapi karena campur tangan negara dalam keagamaan memang bisa menimbulkan perpecahan nasional. Dalam hal ini tidak berarti umat Islam tidak boleh ikut terlibat dalam urusan politik. Justru itu sudah tertuang dalam pokok pikirannya yang keempat: Rakyat perlu diberi kesempatan berpartisipasi dalam politik.


Soekarno mencoba menuangkan pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto yang sudah menjiwainya itu antara lain dengan menyebutkan tidak perlunya negara mengatur persoalan agama dan agama mengatur persoalan negara. Sebab meskipun agama dipisahkan dari negara, tidak berarti agama akan dikesampingkan dalam
kehidupan kenegaraan. Juga tidak mungkin keputusan-keputusan politik negara akan bertentangan dengan prinsip-prinsip agama yang dianut masyarakat, apabila lembaga parlemen yang mengeluarkan keputusan-keputusan itu beranggo-takan orang-orang yang yakin akan kebenaran ajaran a-gamanya.(Lihat juga: Ahmad Suhelmi:1999).


Sebelum Nurcholish Madjid getol menjajakan teori sekularisme yang banyak ditentang oleh kalangan Islam lainnya, Soekarno sudah menjajakan terlebih dahulu de-ngan menyebutkan “sekularisme politik merupakan tun-tutan historis…”. Dan jauh sebelum itu, secara tersamar sang guru Tjokroaminoto sudah pula mengungkap tentang sekularisme (tanpa menyebut kata-kata itu dalam konteks untuk membangun semangat nasionalisme dan demokrasi. Dan pemikiran ini tentu bukan pemikiran asal-asalan. HOS Tjokroaminoto adalah orang yang sejak kecil mendapatkan pendidikan di lingkungan agama (Islam). Kemudian me-lanjutkan sekolahnya di Opleidingschool Voor Inlandeche Am-btenaren (OSVIA). Jadi jelas betapa kuat modal dasar pe-ngetahuan keagamaan (Islam) yang dimilikinya.


Sekularisme, menurut Prof Drs A. Daliman, selama ini oleh bangsa Indonesia, terutama umat Islam, dimaknai dengan konotasi negatif dan ini akibat terjadinya distorsi dan salah interpretasi sehingga banyak “ditakuti”. Padahal menurut Daliman, konsep sekuler tidak diartikan sebagai meninggalkan agama sebagaimana dipahami oleh sebagian umat Islam selama ini. Daliman sependapat dengan Nur-cholish Madjid yang memaknai sekuler sebagai upaya memposisikan kedudukan agama dan dunia pada tem-patnya yang wajar.


Daliman juga mengungkap bahwa munculnya konotasi negatif tersebut tak lepas dari akibat sistem pendidikan kita yang kurang pas. Selama ini pendidikan agama yang diajarkan di sekolah-sekolah hingga tingkat perguruan tinggi sebaiknya diarahkan untuk lebih bersifat akademis dengan memberikan kajian dan studi terhadap semua agama.(Media, 12/11/01). Dengan demikian pemahaman terhadap sekularisme juga lebih luas, tidak sekadar lewat interpretasi sempit dan selalu melihatnya dalam sisi yang negatif.


Tampaknya Tjokroaminoto dalam memahami sekular-isme meskipun ia hidup pada masa silam, jauh lebih unggul daripada pemahaman atas hal yang sama dikalangan para sarjana agama Islam di masa kini. Sebelum Daliman lahir, Tjokro sudah mencoba melahirkan pemikiran-pemikiran Islam dan membuka pendidikan dengan metodologi yang akademis.


Dalam Kongres Central Sarekat Islam (CSI) di Bandung (1916), Tjokroaminoto memang mengatakan bahwa “kita harus mencintai bangsa sendiri dengan mempersatukan mereka dengan kekuatan ajaran Islam…” Ucapan ini tentu yang dimaksudkan agar umat Islam dengan kekuatan a-gamanya dapat berperan mempersatukan bangsanya yang pluralis. Bukan dalam arti menjadikan seluruh bangsanya menjadi Islam. Karena ketika itu, bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya umat Islam, berada pada posisi termarjinalkan oleh penjajah Belanda, selalu diperintah tetapi tak pernah mendapatkan hak untuk ikut memerintah.


Mengikuti alur pemikiran Tjokroaminoto yang kemudian dikembangkan oleh Soekarno, tampak bahwa perju-angan umat Islam di masa itu dalam melawan tirani penjajah Belanda dilakukan dengan penuh semangat militansi namun menghindari radikalisasi. Bahkan dengan kesadaran yang tinggi tentang pluralitas bangsanya sebagai realitas sosial, budaya dan politik yang memang hadir nyata di te-ngah masyarakat, Tjokroaminoto lebih banyak bicara tentang nasionalisme dan demokrasi, bukan tentang teokrasi (negara agama).


Dengan perjuangan yang berlandaskan semangat nasionalisme dan demokrasi, berarti mengajak seluruh komponen bangsa yang beragam ini untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, tak mengenal istilah mayoritas-minoritas yang cenderung bermakna diskriminatif, untuk bersama-sama melepaskan diri dari
cengkeraman penjajah.


Dalam pandangan Tjokroaminoto, bila umat Islam bersungguh-sungguh melaksanakan ajaran agamanya, dengan sendirinya dia akan menjadi seorang demokrat, dan dengan demikian juga sosialis. Tetapi, tidak berarti dalam pengertian demokrat dan sosialis yang mengesampingkan agama. Bukunya yang terbit tahun 1924, Islam dan Sosialisme, jelas dia menentang konsep-konsep  sosialismenya Marx, juga kapitalisme, karena yang pertama menjauhkan manusia dari agama dan yang kedua mem-perlihatkan watak individualisme yang rakus untuk menim-bun harta yang ujung-ujungnya dapat dijadikan sebagai alat penindas rakyat.


Dalam pandangan Tjokroaminoto, sosialisme Marx dan kapitalisme menjadikan benda sebagai segalanya, dan manusia sebagai obyek. Sedangkan dilihat dari sudut pan-dang Islam, manusia itu khalifah, subyek yang merupakan muara atas semua sistem sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Dengan sosialisme Islam, menurut Tjokro, hak individu masyarakat tetap terjamin, yang penting bukan membangun kondisi sama rata sama rasa, tetapi memba-ngun semangat berkompetisi dengan keahlian masing-masing, karena setiap orang memang dilahirkan tidak untuk sama rata sama rasa dengan orang lain, apalagi kalau kemudian disama rasa sama ratakan melalui kediktatoran. Setiap orang bebas mengembangkan keahliannya, memperoleh kekayaan dengan keahliannya itu, namun tidak dengan jalan menindas orang lain. Bahkan Tjokro menambahkan, dengan berusaha untuk menjadi kaya raya melalui cara yang halal, maka kekayaan atau harta benda yang menurut Islam hanya titipan Tuhan itu dalam prosentase tertentu harus diberikan kepada orang lain yang masih miskin, yang disebut sedekah, di mana ada dua kategori: Sedekah yang besarnya tergantung pada kemauan atau keiklasan yang memberikan, dan kedua yang sudah dengan ukuran prosentase tertentu dari total kekayaannya yang disebut zakat. Dan zakat ini pun ada zakat fitrah dan zakat maal. Sosialisme model ini tidak melahirkan sama rata, tetapi menimbulkan sama rasa, dalam arti sama-sama merasakan kebahagiaan karena dapat menikmati harta yang didapat dari orang yang lebih kaya secara iklas.


Di sini nasionalisme dan sosialisme berjalan beriringan, tidak ditempatkan dalam kotak-kotak yang saling bermusuhan, juga tidak diperankan sebagai ideologi yang dikotomis. Semua merupakan sistem untuk membangun masyarakat.


Di sini sekali lagi terlihat keunggulan pemikiran Tjo-kroaminoto, di mana meskipun ajaran-ajarannya sudah “ketinggalan” lebih dari seratus tahun, namun tampaknya malah lebih maju daripada pemikiran kelompok radikal Islam atau kelompok “yang paling tahu tentang Islam” di masa kini, setidaknya pada era tahun 2000-an, yang begitu sempit melihat konsep nasionalisme, demokrasi dan sosialisme sebagai “anti Islam” bahkan merupakan barang impor dari dunia Barat yang nonIslami, dan lebih parah lagi malah dituding sebagai pemikiran kaum kafir. Sebagai misal, banyak tokoh radikal yang menyatakan demokrasi bukan saja bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan bisa merusak tatanan Islam, karena demokrasi merupakan produk kapitalis. Sebutan sosialis juga diidentikkan dengan komunisme dan atheisme karena itu juga harus diperangi.


Moeslim Abdurrahman, antropolog dan Ketua al-Maun Foundation memang juga mengakui, di samping kelompok-kelompok radikal, bahkan perorangan Islam masih banyak sekali yang anti demokrasi, di samping banyak juga yang berjuang secara sungguh-sungguh dengan keyakinan Islam untuk menegakkan demokrasi. Pengalaman sejarah yang terjadi di negara-negara Islam atau yang mayoritas penduduknya Islam dalam hubungannya dengan sepak-terjang kolonialisme Barat memang menjadi salah satu pemicu, sehingga apa saja yang dianggap “produk Barat” termasuk demokrasi dan sosialisme, secara a priori dimusuhi dan dikategorikan sebagai “tidak sesuai dengan Islam”. Padahal sekali lagi, sosialisme di sini adalah yang di-angkat dari konsep-konsep untuk membangun dan me-ningkatkan kesejahteraan masyarakat yang diajarkan Islam, yang menghindari kediktatoran dan otoriter.


Bagi mereka yang melihat konsep sosialisme dari sisi ini, bahkan kemudian malah dijadikan sebagai salah satu “bahasa perlawanan” terhadap Barat. Dan ini kemudian digarisbawahi dengan munculnya rasa nasionalisme. Se-bagai pihak yang pernah menjadi “pesakitan kolonial-isme”, Islam tak lagi hanya bertahan dengan identitas kultural. Nasionalisme juga menjadi ide politik yang ter-buka untuk pemerdekaan bangsa. Oleh karena itu menurut Moeslim, hubungan Islam dengan nasionalisme menjadi kesadaran yang paling kuat dan membekas dalam per-lawanan yang panjang terhadap hegemoni Barat.


Beberapa negara yang merdeka dan memilih sebagai negara Islam juga memilih jalan sosialisme Islam sebagai lawan Barat yang kapitalistik. Sosialisme menjadi dekat di negara-negara dengan masyarakat mayoritas muslim. Ha-nya saja, tidak beda dengan sosialisme Marx yang telah dijungkirbalikkan oleh pengikutnya sendiri di negara-negara yang mengaku sosialis tetapi rakyatnya malah men-derita dipasung tirani jiwa, demikian juga sosialisme Islam telah dijungkirbalikkan sehingga tak lagi menjadi kekuatan rakyat, malah menjadi ideologi rezim politik, rezim yang korup di mata kepentingan rakyat. Di negara-negara Islam yang berkuasa adalah rezim kekuasaan yang satu sama lain bermusuhan tak ada selesainya. (Media, 20/2/04).


Dan hingga kini, memang belum pernah terdengar ada negara dengan sebutan “Republik Sosialis Islam” atau “Kerajaan Sosialis Islam” dengan rakyatnya yang makmur sejahtera, tidak tertindas oleh rezim, tidak mengalami tirani jiwa karena hak-hak asasinya tersita. Tak beda dengan ne-gara-negara yang memasang label “Republik Demokrasi Rakyat” atau “Republik Sosialis” yang memilih jalan sosialisme Marx, di mana bukan hanya kemiskinan dan tirani jiwa yang diderita rakyatnya, bahkan secara mondial negara-negara berlabel sosialis itu mengalami keruntuhan karena di mana-mana dibenci rakyatnya sendiri sebelum mencapai tahap sebagai negara komunis.


Apa yang dikemukakan oleh Moeslim Abdurrahman tersebut sesungguhnya tak jauh beda dengan yang sudah diungkap Tjokroaminoto. Dan apa yang dikemukakannya tersebut, bukanlah Tjokroisme, melainkan ajaran Islam. Tjokro hanya memetik dan mensosialisasikannya di tengah masyarakat, terutama para muridnya. Tjokro justru memperlihatkan keunggulan sosialisme Islam dalam konsep pembangunan masyarakat dibanding konsep-konsep lainnya, termasuk sosialisme Marx, komunisme dan kapitalisme.


Tjokroaminoto hanya memperkenalkan kandungan ajaran Islam tentang nasionalisme dan sosialisme yang ma-nusiawi, tanpa harus melahirkan tirani jiwa seperti sosi-alisme Marx yang dibangun atas dasar diktator proletariat. Dengan sistem pasar tunggal yang dikuasai negara, dan mencabut hak-hak rakyat atas kepemilikan alat produksi, ternyata yang lahir adalah pemerataan kemiskinan dan kondisi anti demokrasi. Sementara itu sosialisme Islam justru mempersilakan setiap orang untuk “membuka” pasar sendiri-sendiri, berkompetisi secara jujur dan adil. Se-bab seperti dikemukakan oleh mantan Menteri Agama RI Prof Dr Mukti Ali (alm), manusia adalah “mahluk yang berpengharapan”, juga “mahluk yang bercita-cita”. Bukan sekadar “mahluk yang berpikir” dan tukang “membikin berbagai alat” atau sekadar “mahluk yang bekerja” seperti para buruh di negara sosialis Marx. Sebagai “mahluk yang berpengharapan” atau “mahluk yang bercita-cita” dia menjadi kreatif, berusaha untuk menjadi manusia unggulan yang berdiri di atas pilar demokrasi yang manusiawi, seper-ti menghargai kebebasan (liberation), persamaan (equality) dan pengakuan terhadap hak asasi manusia (human right).


Inilah bedanya, pemikiran umat Islam masa lalu di era Tjokroaminoto, yang banyak membaca buku yang menya-jikan pemikiran dari berbagai arah, termasuk buku yang bertentangan dengan Islam dalam rangka membuka wawasan. Sementara umat Islam masa kini lebih banyak men-dengarkan dakwah satu arah yang tak lebih baik kualitasnya dari indoktrinasi. Malah, sebagaimana dikatakan oleh Di-rektur Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Musa Asyari, dalam acara Seminar Nasional Meluruskan Jalannya Reformasi, yang digelar di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pendidikan agama di se-kolah-sekolah kita selama ini secara umum antirealitas. Baik itu realitas plural dalam kehidupan agama secara internal dalam kehidupan agama itu sendiri maupun secara eks-ternal dalam kaitannya dengan agama-agama lain.


Dan model pendidikan semacam ini berlangsung mulai dari SD sampai perguruan tinggi. Pendidikan agama, menurut Musa Asyari masih berkutat pada usaha untuk me-monopoli kebenaran Tuhan menurut penafsirannya sendiri dan akibatnya lalu dengan gampang menghakimi orang lain yang berbeda keyakinan dan agamanya. Padahal tegas Musa Asyari, Tuhan dan kebenaran tidak pernah dapat dimonopoli seseorang atau sekelompok orang meskipun dia itu kiai, ustadz, pendeta ataupun pendekar. (Media, 1/10/03).


Dan dengan mempelajari sekilas pemikiran Tjokroaminoto tentang nasionalisme dan sosialisme tersebut, baik pemikiran Daliman maupun Musa Asyari, sebenarnya malah sudah dipraktekkan oleh Tjokroaminoto dan para muridnya. Para founding fathers kita seperti Soekarno dan Hatta, dikenal bukan hanya mendalami Islam, dan agama lain, bahkan juga berbagai ideologi atau aliran-aliran besar di dunia termasuk marxisme, tetapi mereka tidak lalu menjadi orang komunis. Tak mungkin Tjokroaminoto mengecam dan menen-tang teori sosialismenya Marx kalau tidak mempelajari teorinya. Bahkan Soekarno dan Hatta yang sudah demikian mendalam mempelajari teori-teori marxisme, menjadi se-makin tahu akan kelemahannya. Kedua tokoh ini tetap sebagai umat Islam, tetap nasionalis, tetap demokrat, tetap memperjuangkan sosialisme, namun tidak mau berangkat dari konsep materialisme, dialektika dan historisnya marxisme. Mereka mempelajarinya sebagai ilmu.


HOS Tjokroaminoto, memang bukan hanya nasionalis sejati dan peletak dasar-dasar nasionalisme modern. Yang lebih utama dari itu semua, dia telah menanamkan kesadar-an pluralisme di kalangan masyarakat, khususnya murid-muridnya. Meskipun, tak semuanya melaksanakan secara konsekuen. Contohnya, para pemuda yang dikemudian hari menjadi pimpinan PKI, seperti Semaun, Alimin dan Musso malah melakukan intervensi pada konsep nasio-nalisme Tjokro sehingga malah membuat SI pada era tahun 1920-an terpecah menjadi SI Putih (tetap dipimpin Tjo-kroaminoto) dan SI Merah (dipimpin Semaun dan Dar-sono). Demikian juga Kartosuwirjo yang ingin mengubah bentuk negara kesatuan menjadi Negara Islam, belasan tahun kemudian setelah Tjokroaminoto wafat.


Di masa Tjokroaminoto aktif sebagai guru mereka, dia pun menginginkan bagaimana banyak tokoh Islam yang moderat duduk dalam pemerintahan, namun tidak berarti ingin mengubah pemerintahan menjadi negara Islam ka-rena ini akan mengingkari sendiri ajarannya tentang perlu-nya menghargai semua agama yang ada di Indonesia tanpa diskriminasi, tanpa ada yang menjadi kelompok penguasa atasnama agama. Dengan konstitusi nasional berdasarkan suatu agama, maka pemeluk agama lain langsung atau tidak akan terdiskriminasikan, bahkan termarjinalkan. Karena itu pulalah dia lebih banyak mengedepankan pemahaman bahwa muslim itu demokrat dan sosialis. De-ngan pengertian prinsip-prinsip ini, berarti setiap umat Islam wajib menjalankan ajaran agamanya dengan mene-gakkan demokrasi dan menjalankan fungsi sosialnya di masyarakat. Tjokroaminoto tidak mengedepankan ke-kuasaan Islam melainkan pengabdian Islam di tengah ma-syarakat yang pluralistik.


Namun sekali lagi, sayangnya banyak prinsip-prinsip ajaran Tjokroaminoto ini malah terjungkirbalikkan oleh sebagian umat Islam sendiri. Kalau Tjokro menyebutkan betapa bedanya sosialisme Islam yang humanis dengan sosialisme Marx yang totaliter, Sayyid Abdul A’la Al-Maududi malah menampilkan konsep negara Islam yang harus totaliter, sama dengan negara-negara komunis dan fasis. Dan ini telah menjadi kenyataan. Sekali lagi kita telah terperosok pada dua tiga lubang yang sama, akibat pemi-kiran yang sempit, sehingga di mana ada negara berlabel “Islam”, di sana tidak ada demokrasi, hanya ada totaliter. Sama seperti yang terjadi di negara-negara berlabel “sosialis” yang malah anti sosial dan anti humanisme.

Credit by:  HD. HARYO SASONGKO